Disusun oleh
:
- Farah Fajriatun Nikmah (12511963)
- Masroyani Siregar (18511196)
- Muhammad Mustofa Najib (18511436)
- Syueb Abdulghani (17511011)
KELAS :
3PA08
PERSON CENTER TERAPHY DARI CARL ROGERS
Sejarah
Pendekatan person-centered
dikembangkan oleh Dr. Carl Rogers (1902-1987) pada tahun 1940-an. Pada awalnya
perkembangan Carl Roger menamakan nondirective
counseling sebagai reaksi kontra terhadap pendekatan psikoanalisis yang
bersifat direktif dan tradisional. Pada ahun 1951 Rogers mengganti nama
pedekatan non-direktif menjadi client-centered. Pendekatan client-centered
berasumsi bahwa manusia yang mencari bantuan psikologis diperlakukan sebagai
klien yang bertanggung jawab yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan dirinya.
Setelah itu, Rogers mengembangkan aplikasi pendekatan ini pada area yang lebih
luas dan menjangkau populasi yang lebih bervariasi seperti konseling pasangan
dan keluarga, kelompok minoritas, kelompok antar ras dan antar kultur serta
dalam hubungan internasional (Rogers,1970,1972,1977 dalam Corey, 1986, p.99).
karena luasnya area aplikasi dan pengaruh pendekatan ini terutama pada isu-isu
kekuasaan dan politik, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki,
membagi atau menyerahkan kekuasaan dan kontrol atas orang lain dan atas
dirinya, maka pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan yang berpusat pada
manusia (person-centered approach).
Pendekatan ini dikembangkan atas dasar pertimbangan perlunya mendudukan
individu dalam konseling sebagai personal dengan kapasitas positifnya
(Thompson,et.al.,2004,p.159;corey,1986,p99).
Pedekatan person-centered dapat
dikategorikan dalam cabang humanistik yang memiliki prespektif eksistensial,
humanisik merupakan perspektif ketiga ((third-force)
dalam konseling, pada area ini didalamnya termasuk person-centered approach dan gestalt
approach. Rogers mempertanyakan validitas keyakinan yang banyak dipegang
oleh konselor yaitu bahwa dalam proses konseling, konselor adalah orangyang
paling membantu. Rogers berasumsi bahwa manusia pada dasarnya dapat dipercaya
dan memiliki potensi untuk memahami dirinya sendiri dan mengatasi masalahnya
tanpa intervensi langsung dari konselor serta manusia memiliki potensi untuk
berkembang (corey,1986, p100).
Pandangan Tentang Manusia
Pendekatan person-centered memiliki
keyakinan bahwa individu pada dasarnya baik. Hal ini dideskripsikan lagi bahwa
manusia memiliki tendensi untuk berkembang secara positif dan kontruktif
realitis, dan dapat dipercaya. Selanjutnya setiap manusia diberi dorongan dari
dalam (inner directed) untuk
mengembangkan strategi yang membuat dirinya berfungsi penuh (Corey,1986, p.
102). Menurut pedekatan person-centered, manusia
dipandang sebagai insane rasional, makhluk sosial, realistis dan berkembang.
Manusia yang memiliki perasaan negative dan emosi anti-sosial merupakan hasil
dari kefrustrasian atas tidak terpenuhinya impuls-impuls dasar, ide yang
berhubungan dengan hirarki kebutuhan Maslow. Contohnya tingkah laku agresif
merupakan ekspresi frustrasi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar tentang
cinta dan belonging (Thompson,
et,al2004, p.160).
Pendekatan ini juga memandang bahwa manusia memilikikemampuan untuk
merasakan pengalaman, yaitu mengekspresikan daripada menekan pikiran-pikirian
yang tidak sesuai dalam kehidupan kea rah yang lebih sesuai. Menurut Rogers,
manusia melangkah maju menuju aktualisasi diri seiring dengan maju ke arah
penyesuaina psikologis (psychological adjustment). Hal ini disebabkan karena
manusia memiliki kapasitas untuk mengatur dan mengontrol tingkah lakunya.
Secara ringkas, konselor dengan pendektan person-centered
percata bahwa manusia adalah :
- ·Memiliki worth dan dignity dalam diri sehingga ia layak diberikan penghargaan (respect)
- Memiliki kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya sendiri dan mendapat kesempatan dan membuat penilaian yang bijaksana.
- Dapat memilih nilainya sendiri
- Dapat belajar untuk bertanggung jawab secara konstruktif
- Memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran dan tingkah lakunya kearah hidup yang penuh dan memuaskan (full and satisfiying life) dengan kata lain aktualisasi diri (self-actualisation) (Thompson, et,al2004, p.160).
Tujuan-tujuan Terapeutik
Menurut Rogers (1961), pertanyaan “Siapa Saya?” menghantarkan kebanyakan
orang pada psikoterapi. Mereka tampaknya bertanya :bagaimana saya bias
menemukan diri nyata saya? Bagaimana saya bias menjadi apa ang sangat saya
inginkan? Bagaimana saya bias memahami apa yang ada dibalik dinding saya dan
menjadi diri sendiri?
Tujuan dasar terapi person-centered
adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien utnuk menjadi
seseorang priadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik
tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bias memahami hal-hal yang ada
dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan
bertopeng sebagai pertahanan trhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh
klien menghambatnya untuk tampil utuh di hadapan orang lain dan dalam usahan
menipu orang lain, ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri.
Apabila
dinding itu runtuh selama proses terapeutik, orang macam apa yang muncul dari
balik kepura-puraan itu? Rogers (1961) menguraikan cirri-ciri orang yang
bergerak kearah menjadi bertambah teraktualkan sebagai berikut :
- · Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pada pengalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah
bentuknya supayai sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai
lawan kebertahanan, keterbukaan pada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar
terhadap kenyataan sebagimana kenyataan itu hadir di luas didirinya. Hal ini
juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku; dia dapat tetap
terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan kesadaran atas diri sendiri pada
saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
- · Kepercayaan terhadap organism sendiri
Salah satu tujan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya
terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap-tahap permulaan terapi,
kepercayaankliem terhdapa diri sendiri dan terhdap putusan-putusannya sendiri
sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar
karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya utnuk
mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatkan keterbukaan klien pada
pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayan klien kepada dirinya sendiri pun
mulai timbul.
- · Tempat evaluasi internal
Berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari
jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang
semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi
kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain
dengan persetujuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah
laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan
pilihan-pilihan bagi hidupnya.
- · Kesediaan untuk menjadi suatu proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari
konsep tentang diri sebagi prosuk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi
menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil
dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah
suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses
pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi
pengalaman-pengalaman baru dan revisi-revisi ahli-ahli menjadi wujud yang
membeku.
Fungsi dan peran terapis
Peran terapis client-centered berakar pada cara-cara keberadaannya
dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-tekniok yang dirancang untuk
menjadikan klien “berbuat sesuatu”. Penelitian tentang terapi client-centered
tampaknya menunjukkan bahwa yang menuntut perubahan kepribadian klien adalah
sikap-sikap terapis alih-alih pengetahuan, teori-teori atau teknik-teknik yang
digunakannya. Pada dasarnya, terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat
untuk mengubah. Dengan menghadapi klien pada taraf pribadi ke pribadi, maka
“peran” terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu
iklim teraupetik yang menunjang pertumbuhan klien.
Jadi, terapis client-centered
membangu hubungan yang membantu diman klien akan mengalami kebebasan yang
diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang diingkari atau
didistorsinya. klien menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam dunia.
Yang pertama dan terutama,
terapis harus bersedia menjadi nyata dalam hubungan dengan klien. Terapis
mengahadapi klien berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu klien
dengan jalan memasuki dunianya alih-alih menurut kategori-kategori diagnostik
yang telah dipersiapkan. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan, dan
pengertian terapis, klien bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan
persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi pribadi yang
lebih tinggi.
Teknik-teknik dalam pendekatan Client-Centered
Rumusan-rumusan yang lebih
dini dari pandangan Rogers tentang psikoterapi memberi penekanan yang lebih
besar pada teknik-teknik. Perkembangan pendekatan client-centered
disertai oleh peralihan dari pada penekanan pada teknik-teknik teraupetik
kepada penekanan pada kepribadia, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis,
serta pada hubungan teraupetik. Hubungan teraupetik, yang selanjutnya menjadi
variabel yang sangat penting, tidak identik dengan apa yang dikatakan atau
dilakukan oleh terapis. Dalam kerangka client-centered,
“teknik-teknik”-nya adalah pengungkapkan dan pengomunikasian penerimaan,
respek, dan pengertian, serta berbagai upaya dengan klien dalam mengembangkan
kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi.
Menurut pandangan pendekatan client-centered, penggunaan teknik-teknik
sebagai muslihat terapis akan mendepersonalisasi hubungan terapis klien.
Teknik-teknik harus menjadi suatu pengungkapan yang jujur dari terapis, dan
tidak bisa digunakan secara sadar diri sebab terapis tidak akan menjadi sejati.
Pendekatan Client-Centered dengan berbagai cara
memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual
maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
- Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar.
- Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi.
- Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
- Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
- Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
- Pendekatan Client-Centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya.
- Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.
Adapun
kelemahan pendekatan Client-Centered
terletak pada beberapa hal berikut ini:
- Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi Client-Centered.
- tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Client-Centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
- Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
- Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
Kasus
Kasus 1
Kasus 1
Seorang mahasiswi mengira bahwa dia sangat sayang pada adiknya yang
perempuan, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang
bertentangan dengan fikiran itu, karena ternyata dia berkali-kali mengucapkan
kata-kata yang sengit penuh rasa iri kepada adiknya yang sudah mempunyai pacar.
Padahal, terhadap adik sendiri seorang kakak tidak boleh bertindak begitu. Pengalaman
yang nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara siapa saya ini
sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bilamana mahasiswi
mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi
keadaan dirinya sebagaimana adanya. Kesadaran yang masih samar-samar akan
kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam
evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless). Mahasiswi ini siap
untuk menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup
jurang pemisah antara dua kutub di dalam dirinya sendiri, serta akhirnya
menemukan dirinya kembali sebagai orang yang pantas (person of worth).
Kasus
2
Hari ini adalah hari pembagian
nilai ujian mid semester. Tidak biasanya Ucup mendapat rangking terakhir.
Hasilnya ini membuat terkejut semua yang melihatnya. Wajar saja, Ucup merupakan
siswa yang dianggap berotak encer oleh teman-temannya. Ia selalu mendapat
rangking tiga besar setiap pembagian rapot. Demikian juga dengan hasil-hasil
ujian, baik ujian mid semester maupun ujian akhir semester. Ia selalu mendapat
nilai yang sangat baik.
Hasil buruk yang didapat oleh Ucup
ternyata berasal dari kehidupan rumahnya. Ucup merupakan seorang anak angkat.
Ia tidak pernah mendapat pujian dari kedua orang tua angkatnya. Bahkan orang
tuanya tidak pernah melihat semua keberhasilan yang didapat oleh Ucup. Saat
Ucup menceritakan hal-hal yang ia raih, orang tuanya seperti tidak
mendengarkan. Ini membuat Ucup merasa orang tuanya tidak pernah puas terhadap
apa yang ia raih selama ini. Ini bertolak belakang dengan kakak dan adiknya.
Kakak dan adik Ucup juga meraih hasil belajar yang sama. Namun mereka selalu
mendapat penghargaan dari kedua orang tuanya.
Semua yang
dialami oleh Ucup membuat ia menjadi “drop”. Semangat yang selama ini selalu
membara seolah hilang tertiup angin. Ucup merasa seharusnya ia mendapat
perlakuan yang sama dengan kedua saudaranya walaupun ia seorang anak angkat. Sumber:
http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2183745-contoh-kasus-dalam-teori-behavioristik/#ixzz32EEgkVpn
Kasus 3
Sungguh mengenaskan, seorang ibu muda
(Junania Mercy 37) meracuni ke-empat anak-anaknya, memandikan mereka, menyisir
rambutnya, kemudian disandingkan bersama-sama dengan rapi diatas tempat tidur.
Kemudian baru sang ibu mengakhiri hidupnya dengan minum racun yang sama.
Kejadian yang cukup menyayat hati, 4 orang anak kecil itu bagaikan sedang tidur
saja, sang ibu ingin anak-anaknya ditemukan dalam keadaan bersih dan rapi. Bisa
dibayangkan bahwa ibu itu menyaksikan anaknya sekarat, entah muntah, entah
buang-air, entah badannya kejang-kejang karena keracunan. Ia merekamnya dengan
sebuah ponsel kemudian ia membersihkannya dan menata mayat anak-anaknya dengan
rapi. Waktu yang mungkin cukup panjang prosesnya. Kemudian ia memilih pakaian
terbaiknya dan mengakhiri hidupnya. Dan tentu saja mayat sang ibu ketika
ditemukan tidak sebersih anak-anaknya.
Ibu Mercy
adalah gambaran seorang yang mempunyai tekanan berat, persoalan rumah-tangga,
ekonomi dan problem kesehatan anak ke-2nya yang mempunyai penyakit kelainan
darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tak tahu kemana lagi harus meminta
tolong, dan ia kemudian menjerit dengan jeritan yang tak terungkapkan dengan
suara, ia bunuh diri.
Kasus 4
Seorang mahasiswi pascasarjana, sebutlah namanya Lina, untuk kesekiankalinya keluar dari ruang kerja dosen pembimbing tesisnya dengan lunglai. Sudah lebih dari setahun ia mondar-mandir konsultasi, tetapi hasilnya belum tampak, sementara beasiswa yang ia terima sudah hampir habis. Bila tidak lulus dalam dua bulan ini, pada semester berikutnya ia harus menanggung sendiri biaya studinya. Padahal, ia juga harus menghidupi diri sendiri untuk keperluan sehari-hari karena sudah yatim piatu sejak SMP. Sebenarnya, ia sudah mulai tertekan sejak teman sekelasnya lulus tepat waktu. Sempat memiliki indeks prestasi tertinggi di kelas, dan menjadi nomor dua sejak semester kedua, pada dasarnya Lina sangat bersemangat untuk menjadi yang terbaik dan lulus cepat. Pada mulanya, ia senang mendapatkan pembimbing dari institusi yang sudah mapan. Namun, ternyata proses bimbingan sangat alot, dosen mengulur-ulur waktu, dan akhirnya tidak mendapatkan umpan balik yang memadai. Ia pernah mencoba mengonsultasikan tulisannya pada beberapa dosen lain yang lebih terbuka, dan mereka semua menilai sebenarnya tidak banyak masalah pada tulisannya. Ia semakin tertekan sejak karibnya sekelas hampir lulus meski diselingi melahirkan anak. Bahkan, adik kelasnya sudah dua orang yang hampir selesai.
Dengan hampir habisnya
beasiswa yang ia terima, dan hasil konsultasi terakhir ia masih belum diizinkan
mengambil data ke lapangan, ia merasa tidak sanggup lagi menghadapi situasi.
Terlebih-lebih, dosen pembimbing kembali melontarkan kata-kata yang menyerang
pribadinya. Selama ini, ia sudah selalu mengalah demi kelancaran proses
bimbingan, tetapi tidak berpengaruh.
Kasus 5
Menurut
Muzzakin, 46 tahun, 40 orang caleg itu datang dari pelbagai tempat di Tanah
Air, mulai dari Pontianak, Kalimantan Barat, Lampung, Jakarta, dan Banten. Juga
dari Pekalongan, Jawa Tengah, Malang, Sidoardjo, Surabaya, Gresik, dan
Lamongan. Dari 40 orang tersebut, ada tiga orang yang justru lebih dahulu
datang sebelum pencoblosan pemilu legislatif 9 April 2014.
Para caleg yang stress ini sebagian tidak tahan dengan tekanan mental yang kuat. Misalnya, kalah karena tidak lolos jadi anggota legislatif, kemudian mengeluarkan biaya besar, rasa malu dan hina yang berlebihan, serta harapan tinggi yang tidak tercapai. Dampaknya, para caleg ini mengalami perubahan kejiwaan dan cenderung kosong pikirannya. Kyai Muzzakin mencontohkan, karena pikirannya kosong, maka orang bersangkutan dipengaruhi hal-hal yang berkaitan dengan dunia jin dan setan. Contohnya, ada caleg dari Kabupaten Sidoardjo mengalami goncangan jiwa yang hebat. Suka teriak-teriak, ngomel, dan kemudian telanjang. Belakangan diketahui caleg ini mengaku sudah mengeluarkan uang Rp 700 juta yang diberikan ke tim suksesnya. Namun, uang sebesar itu habis dan caleg bersangkutan tidak lolos menjadi anggota DPRD Sidoardjo. "Yang sukses timnya, sementara orangnya stres," katanya.
Contoh lain, ada beberapa caleg yang juga mengalami goncangan jiwa. Seperti dari beberapa orang dari Jawa Timur, yang datang berobat di pondoknya, berperilaku ganjil. Ada yang datang ke pondok pesantrennya dengan posisi diam dan tidak mau diajak bicara. Kemudian, ada yang ngomel-ngomel sendiri hingga menangis. Tak hanya itu, ada juga caleg yang tiba-tiba menggunakan jas, lengkap dengan tas, dan pakaian rapi. Mereka ini layaknya seperti sudah terpilih menjadi anggota Dewan. Menurut Kyai Muzzakin, sebanyak 40 orang tersebut, datang secara bergiliran. Misalnya, pasien yang sempat telanjang dari Sidoardjo kini sudah pulang. Demikian juga dari Banten, Malang, dan Pekalongan juga sudah pulang. Kini masih ada enam caleg yang masih berada di pondok pesantrennya.
(http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/04)
Para caleg yang stress ini sebagian tidak tahan dengan tekanan mental yang kuat. Misalnya, kalah karena tidak lolos jadi anggota legislatif, kemudian mengeluarkan biaya besar, rasa malu dan hina yang berlebihan, serta harapan tinggi yang tidak tercapai. Dampaknya, para caleg ini mengalami perubahan kejiwaan dan cenderung kosong pikirannya. Kyai Muzzakin mencontohkan, karena pikirannya kosong, maka orang bersangkutan dipengaruhi hal-hal yang berkaitan dengan dunia jin dan setan. Contohnya, ada caleg dari Kabupaten Sidoardjo mengalami goncangan jiwa yang hebat. Suka teriak-teriak, ngomel, dan kemudian telanjang. Belakangan diketahui caleg ini mengaku sudah mengeluarkan uang Rp 700 juta yang diberikan ke tim suksesnya. Namun, uang sebesar itu habis dan caleg bersangkutan tidak lolos menjadi anggota DPRD Sidoardjo. "Yang sukses timnya, sementara orangnya stres," katanya.
Contoh lain, ada beberapa caleg yang juga mengalami goncangan jiwa. Seperti dari beberapa orang dari Jawa Timur, yang datang berobat di pondoknya, berperilaku ganjil. Ada yang datang ke pondok pesantrennya dengan posisi diam dan tidak mau diajak bicara. Kemudian, ada yang ngomel-ngomel sendiri hingga menangis. Tak hanya itu, ada juga caleg yang tiba-tiba menggunakan jas, lengkap dengan tas, dan pakaian rapi. Mereka ini layaknya seperti sudah terpilih menjadi anggota Dewan. Menurut Kyai Muzzakin, sebanyak 40 orang tersebut, datang secara bergiliran. Misalnya, pasien yang sempat telanjang dari Sidoardjo kini sudah pulang. Demikian juga dari Banten, Malang, dan Pekalongan juga sudah pulang. Kini masih ada enam caleg yang masih berada di pondok pesantrennya.
(http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/04)
Sumber Referensi :
Corey, Gerald.(2005).Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi.Bandung:
PT.Refika Aditama.
Komalasari, Gantina., Eka Wahyuni., Karsih.(2011).Teori dan Teknik
Konseling.Jakarta: PT.Indeks.
0 komentar:
Posting Komentar