Sebesar apa pengaruh media terkait
konten kekerasan tersebut hingga mampu begitu kuat mempengaruhi khalayak? Beberapa
diantaranya ialah berasal dari teori kognitif (cognitive theory) dan
teori fisiologis (physiologies theory) yang keduanya tergabung dalam
teori efek perilaku (theories of behavioral effects)
Teori Kognitif (Cognitive Theory)
Teori ini menjelaskan dampak dari konten kekerasan dalam media pada tahap
kognitif manusia atau proses tersebut dipandang dari segi kognitif manusia.
Menurutnya, sisi agresif manusia tumbuh melebihi aktivitas mental yang secara
umum merupakan hasil dari atau respon dari konten kekerasan dalam media. Respon
yang didapat bukan hanya pengaruh dari mental secara langsung, tetapi ada suatu
proses kognitif yang terlibat di sana. Teori ini bersandar pada tiga tipe
aktivitas mental sebagai dasar perilaku agresif seperti, pembelajaran (learning),
pembentukan sikap (attitude formation) dan priming.
Pendekatan kognitif yang dominan berkaitan dengan konten kekerasan media
dan perilaku agresif ialah berdasar pada pembelajaran (learning).
Learning merupakan suatu proses kondisi yang melibatkan petentangan mental dan
usaha. Hal tersebut bukan merupakan hasil dari terpaan pasif konten media,
dalam artian terhadapat rentang waktu atau durasi konsumsi media yang konstan.
Learning juga merupakan efek relatif jangka panjang, atau dengan kata lain
asumsi pendekatan ini yang mengatakan bahwa dampak dari mempelajari kekerasan
dalam media agak dapat diterima.
Bandura menyatakan bahwa manusia belajar tidak hanya melalui pengalaman
mereka secara langsung, namun juga dengan mengamati orang lain. Media dalam hal
ini banyak memberikan kesempatan dalam menyediakan materi pengalaman tersebut.
Dua kunci dari perilaku belajar ini ialah relevan dan adaptif. Melalui dua hal
ini, seseorang akan lebih mudah belajar. Relevan berarti berhubungan dengan
kehidupan seseorang dan adaptif berarti hal-hal yang mampu menolong mereka
dalam kehidupan mereka sendiri. Implikasinya ialah, ketika seseorang melihat
konten kekerasan media sebagai suatu hal yang memang pernah terjadi dengan
orang lain (relevan) maka mereka akan menyesuaikan diri dengan hal tersebut dan
cenderung mengadaptasinya ketika dianggap mampu memecahkan masalah hidup
mereka.
Media seringkali menggambarkan kekerasan sebagai suatu tindakan yang
atraktif, keberhasilan dan karakter yang dihargai, baik sebagai pembela
kejahatan atau lainnya. Kekerasan menjadi sesuatu yang menggugah dan menarik
perhatian, hal tersebutlah yang membuat kekerasan banyak dipelajari atau
ditiru. Media visual banyak menawarkan gambar-gambar yang merangsang
kecenderungan penonton mempelajari kekerasan secara sosial.
Information-Processing Model
Model yang merupakan perkembangan dari social learning ini
menyatakan bahwa sikap agresif seseorang tidak hanya muncul ketika terpaan
media begitu kuat. Model ini menyatakan bahwa atribut media juga mempunyai
peran penting dalam memunculkan sikap agresif. Atribut tersebut ialah script
media atau naskah atau bahasa verbal yang digunakan. Huesmann menyatakan bahwa
proses encoding script yang diverbalisasikan media yang terus menerus
diulang (rehearsal) mampu mengkultivasi dan akhirnya dipelajari sebagai
suatu tindakan sosial. Menurut Huesmann, seorang anak yang kasar cenderung
tidak populer dan jarang menghabiskan waktu dengan teman maupun keluarga. Sikap
introvert ini memaksa anak berteman dengan TV dan akhirnya berinteraksi
melalui naskah-naskah yang ada hingga dipelajari sebagai suatu tindakan sosial.
Priming by Aggressive Media Cues
Model ini beranggapan bahwa dalam tayangan kekerasan dalam media terdapat
simbol-simbol tertentu yang mampu mempengaruhi perilaku seseorang. Priming
merupakan aktivasi otomatis dari skema yang telah ada pada tanda yang menyolok
dalam lingkungan. Priming yang dibuat oleh media dengan konten kekerasan
memungkinkan munculnya tanda-tanda tertentu yang menjadi “top of mind”
bagi penontonnya. Hal tersebut tentu akan diingat dan memungkinkan untuk
mempengaruhi bagaimana orang berpikir, merasakan dan bertindak. Dengan kata
lain tanda agresif dalam media mampu merangsang pikiran-pikiran agresif
seseorang yang akan berdampak pada reaksinya terhadap suatu seting sosial.
Masih berhubungan dengan model sebelumnya, dimana script dalam media
memerankan variable utama. Namun, script di sini lebih spesifik mengacu pada
satu tanda yang mencolok yang kemudian menjadi referensi seseorang dalam
bertindak agresif. Sebagai contoh, dalam film kekerasan umumnya menggunakan
senjata dalam scriptnya, dan hal tersebut dapat menjadi tanda yang berpotensi
mengaktifkan sikap agresif di dunia nyata. Hal tersebut juga tidak terlepas
dari gambaran media yang tidak pernah menunjukkan bahwa menggunakan kekerasan
akan langsung mendapatkan hukuman. Objek spesifik yang sangat mencolok akan
menjadi sebuah tanda agresi.
Masyarakat mungkin secara sadar mengaktifkan script yang bersifat agresif
dalam kendali proses mental sebagai solusi dalam dunia nyata. Ataupun, tanda
mencolok media memungkinkan script agresif utama mempengaruhi bagaimana
seseorang merespon dalam waktu yang singkat.
Teori Fisiologis (Physiological Theories)
Kunci dari pendekatan ini adalah bagaimana respon khalayak secara
fisiologis terhadap konten kekerasan media. Arousal atau suatu rangsangan yang
mampu mempengaruhi perilaku agresif seseorang, misalnya. Setidaknya terdapat
tiga mekanisme dalam model ini. Pertama ialah penonton dimungkinkan berperilaku
lebih intensif daripada ketika tidak terstimulan. Kedua penonton menjadi sangat
terstimulan dalam konteks kekerasan dalam media, arousal mungkin diberi label
sebagai ketakutan, kemarahan atau permusuhan. Jadi dalam jangka waktu yang
singkat setelah terpaan konten kekerasan media. Arousal tidak secara langsung
menginspirasi, tetapi menguatkan melalui beberapa variable.
ref :
0 komentar:
Posting Komentar